Belajaraktif.com – Salah satu dari beberapa tantangan yang dihadapi Islam dan umat Islam saat ini adalah bahwa sebagian orang lebih suka memahami masalah keagamaan dengan cara yang ekstrem dan tekstual, terkadang dengan kekerasan. Yang kedua adalah bahwa umat Islam menjadi terlalu longgar dalam beragama dan tunduk pada perilaku dan pemikiran negatif yang berasal dari budaya mereka. Dalam upaya mereka, mereka mengutip al-Qur’an dan Hadis, serta karya-karya ulama klasik, yang mereka gunakan sebagai landasan dan kerangka berpikir dengan memahami teks dan konteks sejarahnya. Mereka sering dianggap sebagai generasi yang terlambat lahir karena cara mereka berpikir di era modern.1

Karena Islam terkait dengan bahasa Arab, penulis akan menemukan istilah wasathiyah, yang berarti moderasi, dan sawa’un, yang berarti batas antara dua sisi yang adil, pertengahan, dan standar. Kata “wasathan” mengacu pada komitmen untuk mempertahankan batasan dalam tindakan agar tidak meninggalkan kebenaran agama.2

Secara linguistik, istilah “moderasi” berasal dari bahasa Latin, yang berarti “sedang”, yang berarti tidak berlebihan atau kekurangan. Dalam bahasa Inggris, “moderasi” berarti mengurangi sikap ekstrim.3

Dalam agama, moderati didefinisikan sebagai kesepakatan antara pemahaman dan praktik agama yang moderat, juga dikenal sebagai “tidak ekstrim”.[1] Tindakan ekstrim ditunjukkan dengan kurangnya toleransi, yang menyebabkan kesan radikalisme muncul saat mengabaikan sikap moderat dalam beragama. Agama tidak perlu diatur, karena seluruh ajaran agama apapun pasti akan mengajarkan kebaikan, tetapi orang sebagai penganut agama menjadi objek moderasi karena ada perbedaan pendapat tentang cara membaca teks agama.4

Ketika seseorang beragama, aktualisasi moderat terjadi ketika seseorang dapat bersikap proporsional dengan tidak memaksakan kehendaknya kepada orang lain.5Ini karena moderasi mewujudkan toleransi yang menghargai perbedaan. Ia tidak akan pernah mencapai tindakan yang membahayakan orang lain saat mengaktualisasikan nilai agama karena moderasi mewujudkan toleransi menghargai perbedaan.

Dengan menyakini agama secara menyeluruh, moderasi beragama dianggap penting dalam pembentukan karakter manusia.6Ini memungkinkan seseorang untuk menjalani kehidupan beragama yang harmonis di masyarakat multikultural.

Mereka yang beragama moderasi mungkin memiliki beberapa karakteristik berikut: tawassuth, yang berarti memahami dan mengamalkan agama tanpa berlebihan; tawazun, yang berarti mengamalkan agama secara menyeluruh dan tegas menyikapi perbedaan dan penyimpangan; i’tidal, yang berarti melaksanakan hak dan kewajiban agama secara proporsional; musawah, yang berarti tidak diskriminatif terhadap perbedaan; tasamuh, yang berarti mengakui dan menghormati perbedaan; dan syura, yang berarti mengambil jalan musyawarah.7

Ayat Al-Qur’an terkait Moderasi Beragama

Pembelajaran al-Qur’an harus mempelajari setiap ayatnya, terutama dinamika pemikiran dan perubahan cara berpikir dalam praktisi Islam, yang menarik perhatian para intelektual. Kemudian, dinamika tersebut akan menunjukkan bahwa ada indentifikasi yang secara khusus membahas fenomena tersebut, dan seringkali dari identifikasi tersebut dapat muncul teori.

Oleh karena itu, penulis harus mencantumkan ayat-ayat al-Qur’an yang mendukung teori program moderasi beragama sambil menghilangkan pandangan negatif tentang radikalisme Ada banyak tuduhan bahwa orang Islam hadir. Fokus ajaran Islam tetap mengajak kepada kebaikan, seperti yang ditunjukkan dalam ayat ini. Akibat fanatisme dan keegoisan, agama Islam tidak mengajarkan radikalisme. Ayat-ayat berikut dari al-Qur’an yang mendukung moderasi agama:”

Q.S. Al-Baqarah ayat 143:
Artinya: “dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku8

Q.S. Al-Baqarah ayat 256:
Artinya: “tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”9

Q.S. Yunus ayat 40-41:
Artinya: “40. di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepada Al Quran, dan di antaranya ada (pula) orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Tuhanmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang berbuat kerusakan.10 41. Jjika mereka mendustakan kamu, Maka Katakanlah: “Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan”.

Q.S. Mumtahanah ayat 8:
Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.11

Q.S. Thaha ayat 43-44:
Artinya: Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, Sesungguhnya Dia telah melampaui batas; Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut”.12

Q.S. Al-Kaafirun ayat 6:
Artinya: “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”13

Pemikiran Ulama tentang Moderasi dan Toleransi

Para ulama telah banyak membahas tentang pentingnya moderasi dan toleransi dalam menjalankan agama. Salah satu ulama yang sangat menekankan hal ini adalah Imam Al-Ghazali. Dalam karyanya, “Ihya ‘Ulumuddin”, beliau menyatakan bahwa agama harus dijalankan dengan sikap tengah-tengah, tidak boleh condong ke arah yang ekstrem. Menurut Al-Ghazali, sikap ekstrem dalam agama justru akan menjauhkan seseorang dari esensi ajaran Islam yang penuh dengan kasih sayang dan kedamaian.

Imam Al-Nawawi dalam kitabnya Riyadhus Shalihin juga menegaskan pentingnya sikap toleransi dalam hubungan sosial. Beliau mengatakan:
“Seorang Muslim adalah orang yang Muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini tidak hanya berlaku bagi sesama Muslim, tetapi juga bagi hubungan dengan pemeluk agama lain. Rasulullah ﷺ mengajarkan umatnya untuk menjaga hubungan yang baik, penuh dengan kedamaian, dan menghindari tindakan yang merugikan orang lain, baik secara verbal maupun fisik.

Moderasi dan Toleransi sebagai Refleksi Maulid Nabi

Kisah Inspiratif Moderasi dan Toleransi Rasulullah ﷺ dengan Eksternal Islam Rasulullah ﷺ dikenal sebagai sosok yang memiliki karakter mulia, tidak hanya terhadap umat Islam tetapi juga terhadap mereka yang berbeda keyakinan. Salah satu ajaran penting yang beliau contohkan adalah sikap toleransi (tasamuh) dan kasih sayang (rahmah) terhadap semua manusia, termasuk mereka yang tidak memeluk Islam. 

Berikut adalah beberapa kisah yang menunjukkan sikap toleransi dan kasih sayang Rasulullah kepada non-Muslim, yang dapat menjadi inspirasi bagi kita semua:
Perjanjian Madinah: Piagam Keadilan untuk Semua

Setelah hijrah ke Madinah, Rasulullah ﷺ segera membentuk Piagam Madinah, sebuah konstitusi yang mengatur hubungan antara berbagai suku dan agama di Madinah, termasuk komunitas Yahudi dan suku-suku pagan yang masih memeluk kepercayaan nenek moyang. Salah satu prinsip utama dalam Piagam Madinah adalah memberikan kebebasan beragama kepada setiap penduduk:

“لِلْيَهُودِ دِينُهُمْ وَلِلْمُسْلِمِينَ دِينُهُمْ”

“Bagi Yahudi agama mereka, dan bagi umat Islam agama mereka.”

Melalui piagam ini, Rasulullah memastikan bahwa setiap agama memiliki hak yang sama untuk menjalankan ibadahnya dengan aman dan damai. Ini adalah bukti nyata bagaimana Rasulullah mengajarkan toleransi dan menghormati perbedaan keyakinan. Tidak ada paksaan dalam agama, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:

“لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ”

“Tidak ada paksaan dalam agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah.” (QS. Al-Baqarah: 256)

  • Sikap Rasulullah SAW terhadap Delegasi Nasrani Najran

Pada suatu hari, datang sekelompok orang Nasrani dari Najran untuk bertemu dengan Rasulullah ﷺ di Madinah. Mereka datang dengan tujuan untuk berdialog dan mendiskusikan perbedaan teologis antara Islam dan agama mereka. Rasulullah ﷺ menyambut mereka dengan baik dan penuh hormat.

Bahkan, saat waktu ibadah tiba, Rasulullah memperbolehkan mereka untuk melakukan ibadah di dalam Masjid Nabawi. Ini adalah salah satu contoh luar biasa bagaimana Rasulullah menghargai kebebasan beragama dan menunjukkan bahwa masjid bisa menjadi tempat dialog dan toleransi. Beliau tidak pernah melarang mereka beribadah sesuai dengan keyakinan mereka, menunjukkan sikap kasih sayang dan pengertian terhadap agama lain.

  • Rasulullah dan Wanita Yahudi yang Sakit

Dalam salah satu kisah yang penuh hikmah, diceritakan bahwa di Madinah terdapat seorang wanita Yahudi yang sering kali mengganggu dan menghina Rasulullah ﷺ. Setiap kali Rasulullah lewat di depan rumahnya, wanita ini akan melempar kotoran atau sampah kepada beliau. Meski demikian, Rasulullah tidak pernah marah ataupun membalas perbuatan wanita tersebut.

Suatu hari, Rasulullah melewati rumah wanita itu dan mendapati tidak ada gangguan seperti biasanya. Beliau merasa heran dan bertanya kepada para sahabat mengenai keberadaan wanita itu. Para sahabat kemudian memberitahu bahwa wanita tersebut sedang sakit. Rasulullah pun segera pergi ke rumah wanita itu untuk menjenguknya.

Ketika wanita Yahudi itu melihat Rasulullah datang menjenguknya, ia merasa sangat terkejut dan tersentuh oleh sikap kasih sayang Rasulullah. Akhirnya, wanita itu menyadari kebesaran hati Rasulullah dan memeluk Islam. Kisah ini menunjukkan bahwa kasih sayang Rasulullah tidak terbatas pada orang Islam saja, tetapi juga kepada mereka yang berbeda keyakinan dan bahkan kepada mereka yang memusuhinya.

  • Toleransi Rasulullah kepada Kaum Yahudi di Madinah

Di Madinah, terdapat beberapa kelompok Yahudi yang tinggal berdampingan dengan umat Islam. Rasulullah ﷺ selalu bersikap adil dan menghormati hak-hak mereka sebagai warga negara Madinah. Salah satu kisah yang menginspirasi adalah ketika seorang Muslim dan seorang Yahudi bersengketa mengenai harta. Keduanya membawa perkara tersebut kepada Rasulullah ﷺ untuk diadili.

Setelah mendengar bukti-bukti yang ada, Rasulullah ﷺ memutuskan perkara itu dengan adil, meskipun keputusan itu memenangkan pihak Yahudi. Rasulullah tidak membeda-bedakan antara Muslim dan non-Muslim dalam hal keadilan. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ”
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang benar-benar menegakkan (keadilan) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 8)

Rasulullah menekankan pentingnya keadilan tanpa melihat latar belakang agama, etnis, atau suku. Sikap adil beliau kepada kaum Yahudi di Madinah adalah bukti bahwa Islam mengajarkan keadilan dan toleransi terhadap semua manusia, tanpa memandang perbedaan.

  • Piagam Perlindungan Rasulullah untuk Biara Kristen St. Catherine

Salah satu kisah paling luar biasa tentang toleransi Rasulullah ﷺ adalah ketika beliau memberikan piagam perlindungan kepada biara Kristen St. Catherine di Gunung Sinai. Dalam piagam tersebut, Rasulullah ﷺ memberikan jaminan kepada para biarawan dan umat Kristen bahwa mereka akan dilindungi oleh umat Islam dan bebas menjalankan agama mereka.

Dalam salah satu bagian piagam itu disebutkan:

“Tidak ada seorang pun dari umat Muslim yang akan menghancurkan biara mereka, atau mengusir mereka, atau memaksa mereka untuk meninggalkan keyakinan mereka.”

Ini adalah salah satu contoh bagaimana Rasulullah ﷺ menjunjung tinggi kebebasan beragama dan melindungi hak-hak orang non-Muslim dalam menjalankan ibadah mereka. Piagam ini juga menunjukkan bahwa Islam, sejak awal, mengajarkan toleransi dan koeksistensi damai dengan pemeluk agama lain.

Walhasil dari kisah-kisah di atas, jelas terlihat bahwa Rasulullah ﷺ adalah teladan utama dalam hal toleransi (tasamuh) dan kasih sayang (rahmah) terhadap semua manusia, termasuk mereka yang berbeda keyakinan. Rasulullah menunjukkan bahwa toleransi tidak berarti mengkompromikan prinsip-prinsip Islam, melainkan menunjukkan kebesaran hati, keadilan, dan kasih sayang kepada semua makhluk Allah ﷻ.

Analisis Mufassir terhadap Ayat Moderasi Agama

Menurut Ibn Jarir ath-Thabari, al-khiyar adalah sinonim dari al-wasath, yang berarti ruang di antara dua sisi atau ruang tengah. Ats-Tsa’labi juga setuju dengan pendapat ini dengan mengutip pernyataan bahwa Nabi Muhammad huwa wasthu Quraisy nasaban, yang berarti bahwa Nabi Muhammad adalah yang terbaik di antara mereka. Selain itu, ar-Razi menyatakan bahwa diksi wasath diartikan sebagai al-‘adl atau adil, dan Al-Qâsimî, sebuah kategori mufassir di era kontemporer, juga menyepakati bahwa diksi wasath bersamaan dengan makna “adl dan khiyar.” Berdasarkan ayat 143 surah al-Baqarah, dia menyatakan bahwa tujuan amar ma’ruf dan nahy munkar adalah cara seorang muslim dapat menjadi agen keadilan.14

Menurut Ibnu “Asyura, “moderasi” berasal dari kata Arab “wasath“, yang berarti “sesuatu yang berada di tengah, atau sesuatu yang memiliki dua ujung yang sebanding,” dan “moderasi” berarti nilai-nilai Islam yang didasarkan pada pemikiran yang lurus. Menurut Quraish Shihab, moderasi berarti bertindak dengan cara yang seimbang saat menyelesaikan masalah. kehidupan duniawi dan ukhrawi dikombinasikan dengan penyesuaian diri terhadap keadaan menurut ajaran agama.15

Sayyid Qutb menggambarkan umat Islam sebagai ummat wasathan, yang berarti mereka memiliki pemikiran, perasaan, dan cara hidup yang moderat. Umat Islam harus dapat mengharmonisasikan pikiran dan perasaan mereka untuk tidak melampui batas atau menolak perbedaan.16

Hamka menegaskan bahwa moderasi yang diajarkan dalam agama Islam adalah bersikap adil di antara memenuhi kebutuhan duniawi dan akhirat. Umat Islam tidak boleh terlalu berfokus pada kehidupan akhirat sehingga melupakan kebutuhan duniawi yang sebenarnya.17

Pandangan Quraish Shihab tentang moderasi agama harus dipublikasikan. Beliau menyatakan bahwa orang Indonesia harus menerapkan tiga teori moderasi beragama: ilmu pengetahuan, kemampuan untuk mengendalikan perasaan, selalu mengutamakan kehati-hatian dalam berpikir, dan aktualisasi keyakinan. Beliau berpendapat bahwa istilah “moderasi beragama” tidak ditemukan secara eksplisit dalam al-Qur’an karena itu berasal dari peristiwa yang menunjukkan intoleransi antar agama atau bahkan seagama. Menurutnya, wasathan, sebagaimana disebutkan dalam surat an-Nisa ayat 143, adalah ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan istilah ini.18

Ulama Tafsir dari zaman klasik dan modern secara umum setuju bahwa ayat al-Qur’an dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk program moderasi beragama, khususnya di Indonesia, seperti yang ditunjukkan dalam deskripsi di atas. Kata-kata dalam al-Qur’an yang berfungsi sebagai simbol moderasi beragama adalah diksi wastha dengan turunan makna yang beragam yang jika diterjemahkan adalah adil, terbaik dan seimbang.”


  1. Muchlis, M. Hanafi, Moderasi Islam, (Ciputat: Ikatan Alumni AlAzhar dan Pusat Studi Al-Qur’an, (2013), h. 1-2. ↩︎
  2. Ragib al-Ashfahani, Mufradat Alfazh al-Qur’an (Beirut: Dar al-Qalam, 2009), h. 869. ↩︎
  3. Andi Abdul Hamzah and Muhammad Arfain, “Ayat-Ayat Tentang Moderasi Beragama,” Tafsere 9, no. 1 (2021): 27–45. ↩︎
  4. J.R.V. Marchant & J.F. Charles, Cassel’s Latin Dictionary: Latin-English and English-Latin (New York: Funk & Wagnalls Company, 1953). Lihat juga Tim Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008). ↩︎
  5. Tim Penyusun Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, cet. I., (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2019), 16-17. ↩︎
  6. E. Frettingham, “Security and The Construction of ‘Religion’ in International Politics,” Ph.D Thesis, Aberystwyth University, 2009 ↩︎
  7. Afrizal Nur dan Mukhlis, Konsep Wasathiyyah dalam Al-Qur’an , Jurnal an-Nur, vol. 4, no. 2 tahun 2015, h. 212-213” ↩︎
  8. Yang dimaksud Ialah: shalat berjama’ah dan dapat pula diartikan: tunduklah kepada perintah-perintah Allah bersama-sama orang-orang yang tunduk.” ↩︎
  9. Ibnu Katsir menyebutkan tentang ayat ini “Yakni janganlah kalian memaksa seseorang untuk masuk agama Islam, karena sesungguhnya agama Islam itu sudah jelas, terang, dan gamblang dalil-dalil dan bukti-buktinya. Untuk itu, tidak perlu memaksakan seseorang agar memeluknya. Bahkan Allah-lah yang memberinya hidayah untuk masuk Islam, melapangkan dadanya, dan menerangi hatinya hingga ia masuk Islam dengan suka rela dan penuh kesadaran. Barang siapa yang hatinya dibutakan oleh Allah, pendengaran dan pandangannya dikunci mati oleh-Nya, sesungguhnya tidak ada gunanya bila mendesaknya untuk masuk Islam secara paksa. Adapun sebab-sebab turunnya ayat ini yaitu Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Yasar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi, dari Syu’bah, dari Abu Bisyr, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dahulu ada seorang wanita yang selalu mengalami kematian anaknya, maka ia bersumpah kepada dirinya sendiri, “Jika anakku hidup kelak, aku akan menjadikannya seorang Yahudi”. Ketika Bani Nadir diusir dari Madinah, di antara mereka ada anak-anak dari kalangan Ansar. Lalu mereka berkata, “Kami tidak akan menyeru anak-anak kami (untuk masuk Islam).” Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. (Al-Baqarah: 256)” ↩︎
  10. Menurut Tafsir Ibnu Katsir yang diterjemahkan M. Abdul Ghoffar, maksud firman Allah ﷻ dalam surat Yunus ayat 40 adalah di antara kaum Nabi Muhammad ﷺ ada orang yang beriman kepada Al-Qur’an dan mereka menjadi pengikut Nabi Muhammad ﷺ dan mengambil manfaat dari risalahnya. ↩︎
  11. {لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ}
    Allah tiada melarang kamu terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. (Al-Mumtahanah: 8) Yakni mereka tidak membantu (orang-orang) untuk memerangi dan mengusirmu. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa Allah tidak melarang kamu menjalin hubungan baik dengan orang-orang kafir yang tidak memerangimu karena agama, seperti kaum wanita dan orang-orang lemah dari mereka.
    {أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ}
    untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Al-Mumtahanah: 8)
    قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ الْمُنْذِرِ، عَنْ أَسْمَاءَ -هِيَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا-قَالَتْ: قَدَمت أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ قُرَيْشٍ إِذْ عَاهَدُوا، فأتيتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أُمِّي قَدِمَتْ وَهِيَ رَاغِبَةٌ، أَفَأَصِلُهَا؟ قَالَ: “نَعَمْ، صِلِي أُمَّكَ”
    Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Urwah, dari Fatimah bintil Munzir, dari Asma binti Abu Bakar r.a. yang menceritakan, “Ibuku datang, sedangkan dia masih dalam keadaan musyrik di masa terjadinya perjanjian perdamaian dengan orang-orang Quraisy. Maka aku datang kepada Nabi Saw. dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku datang, ingin berhubungan dengan diriku, bolehkah aku berhubungan dengannya?’ Nabi Saw. bersabda, “Ya, bersilaturahmilah kepada ibumu’.”
    Imam Bukhari dan Imam Muslim telah mengetengahkan pula hadis ini. ↩︎
  12. {اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى}
    Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melewati batas. (Thaha: 43)
    Yaitu membangkang, berlaku sewenang-wenang, dan melampaui batas terhadap Allah serta durhaka kepada-Nya.
    {فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى}
    maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut. (Thaha: 44)
    Ayat ini mengandung pelajaran yang penting, yaitu sekalipun Fir’aun adalah orang yang sangat membangkang dan sangat takabur, sedangkan Musa adalah makhluk pilihan Allah saat itu, Musa tetap diperintahkan agar dalam menyampaikan risalah-Nya kepada Fir’aun memakai bahasa dan tutur kata yang lemah lembut dan sopan santun.
    Seperti yang telah diterangkan oleh Yazid Ar-Raqqasyi saat menafsirkan firman-Nya: maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut. (Thaha: 44) Ia mengemukakan perkataan seorang penyair seperti berikut:
    يَا مَنْ يَتَحَبَّبُ إِلَى مَنْ يُعَادِيهِ فَكَيْفَ بِمَنْ يَتَوَلَّاهُ وَيُنَادِيهِ؟
    Wahai orang yang bertutur lemah lembut kepada orang yang memusuhinya, maka bagaimanakah ia bertutur kata dengan orang yang menyukai dan mendambakannya (yakni tak terbayangkan kelembutan tutur katanya)?
    Wahb ibnu Munabbih telah mengatakan sehubungan dengan pengertian ini, “Sesungguhnya aku lebih banyak memaaf dan mengampuninya daripada marah dan menghukuminya.”
    Dari Ikrimah, telah disebutkan sehubungan dengan makna firman-Nya: maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut. (Thaha: 44) Yakni ucapan “Tidak ada Tuhan selain Allah”.
    Amr ibnu Ubaid telah meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan makna firman-Nya: maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut. (Thaha: 44) Yaitu Musa diperintahkan untuk menyampaikan kepada Fir’aun kalimat berikut, “Sesungguhnya engkau mempunyai Tuhan, dan engkau mempunyai tempat kembali, dan sesungguhnya di hadapanmu ada surga dan neraka.”Baqiyyah telah meriwayatkan dari Ali ibnu Harun, dari seorang lelaki, dari Ad-Dahhak ibnu Muzahim, dari An-Nizal ibnu Sabrah, dari Ali sehubungan dengan makna firman-Nya: maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut. (Thaha: 44) Bahwa yang dimaksud dengan layyinan ialah dengan kata-kata sindiran (bukan dengan kata-kata terus terang). ↩︎
  13. Mengutip buku Konten Dakwah Era Digital (Dakwah Moderat) oleh Dr. Abdul Syukur dan Dr. Agus Hermanto, surat ini diturunkan ketika kaum Quraisy mendesak Nabi Muhammad untuk memerintahkan pengikutnya menyembah dua tuhan di hari yang berbeda. ↩︎
  14. Ali Hamdan and Salamuddin, Moderasi Beragama Ala Mazhab Musthafawiyah Jejak-Jejak Syekh Musthafa Moderasi Beragama Ala Mazhab Musthafawiyah Jejak-Jejak Syekh Musthafa Husein, ed. Marlina, 2020th ed. (Malang, 2022)..” ↩︎
  15. Hamzah and Arfain, “Ayat-Ayat Tentang Moderasi Beragama.” ↩︎
  16. ayyid Quthb, Zhilal Qur’an, Terj. As’ad Yasin (Jakarta: Gema Insani, 2008), h. 158-159. ↩︎
  17. Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982),  jilid 2, h. 332 ↩︎
  18. Hamdan and Salamuddin, Moderasi Beragama Ala Mazhab Musthafawiyah Jejak-Jejak Syekh Musthafa Moderasi Beragama Ala Mazhab Musthafawiyah Jejak-Jejak Syekh Musthafa Husein. ↩︎

Artikel ini ditulis Oleh:
Syamsul Rizal (Dosen Tetap IAI Diniyyah Pekanbaru)
Mengutip dari Berbagai Artikel Jurnal

By Syamsul Rizal

Dosen Tetap IAI Diniyyah Pekanbaru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *