Ditulis Oleh: Rahmad Fauzi Lubis, M.Pd.I.
(Da’i dan Dosen IAI Diniyyah Pekanbaru)
Pendahuluan
Sejarah mencatat bahwa peradaban Islam pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan dunia sekitar abad ke-7 M. sampai abad ke-15 M. Setelah itu, masa keemasan itu mulai melayu, statis, bahkan mundur hingga abad ke-21 M. ini.1 Ketika Islam mengalami supremasi kejayaan dan kemegahan peradaban, yang ditandai dengan maraknya kajian tentang ilmu pengetahuan dan filsafat, sehingga Islam saat itu menjadi mercusuar dunia, baik di belahan Timur maupun Barat. Masa tersebut mampu memproduk para saintis dan filosof Muslim kelas dunia di berbagai bidang ilmu pengetahuan, bidang fiqih: Imam Malik, Imam Syafi‘i, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal.2 bidang filsafat: al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Abu Yazid; bidang sains: Ibnu Hayyam, al-Khawarizmi, al-Razi, dan al-Mas‘udi. Sumbangsih intlektual menumental tokoh-tokoh tersebut menjadikan Islam menjadi kiblat ilmu pengetahuan yang berpengaruh positif terhadap eksistensi kehidupan manusia, dikarenakan tokoh Muslim saat itu mengembangkan keilmuan Islam non-dikotomis (tidak memisahkan agama dan sains).
Realisasi fenomena di atas dikarenakan ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama dipadukan sebagai satu totalitas dan integralitas Islam yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lainnya secara dikotomi.3 Posisi ilmu pengetahuan dan siapapun yang mencarinya secara religious dipandang tinggi dan mulia. Mereka mengadakan eksplorasi dan invensi ilmu pengetahuan dan filsafat dengan tidak bertendensi pada persoalan materi semata, melainkan karena semangat religiusitas dan termotivasi oleh sebuah keyakinan bahwa aktivitas tersebut merupakan bagian integral dari manifestasi aplikasi agama atau perintah Allah.4
Namun sekitar pertengahan abad ke-12 M, kegemilang umat Islam di bidang keilmuan dunia, mulai bergeser dan sedikit demi sedikit menjauhi dunia Islam. Hal tersebut bermula sejak terjadinya disintegrasi pemerintahan Islam yang berakibat pada munculnya sekte-sekte politik yang sparatif-kontradiktif. Sebagian sekte, secara politis memproklamirkan tertutupnya pintu ijtihad dan menggiring umat pada pemaknaan agama yang eksklusif serta mengisolasikan ilmu pengetahuan dan filsafat dari dimensi agama. Secara otomatis berimbas pada stagnasi sains Islam, serta berimplikasi pada kerapuhan dan kelumpuhan umat dalam berbagai aspek kehidupan; baik militer, ekonomi, politik, maupun aspek keilmuan.5
Sekitar abad ke-18 M (periode modern), umat Islam mulai terbangun dari tidur panjangnya. Jatuhnya Mesir ke tangan bangsa Barat menyadarkan dan membuka mata umat Islam bahwa di Barat telah muncul peradaban baru yang lebih tinggi, sekaligus menjadi ancaman besar bagi umat Islam.6 Mulai saat itu di kalangan intelektual Muslim ada yang berinisiatif untuk mempelajari ilmu pengetahuan Barat yang sekularistik dan rasional-materialistik serta terpisah dari semangat dan nilai-nilai moralitas Islam. Persentuhan dunia Islam dengan ilmu pengetahuan Barat itu menimbulkan persaingan dan respon yang saling bersimpangan jalan di kalangan intelektual Muslim. Satu sisi mereka menampakkan sikap antagonistik-kontradiktif, bahkan menganggap ilmu pengetahuan Barat sebagai karya-karya buruk dan hampa dari nilai-nilai agama. Di sisi lain, adanya kelompok intelektual Muslim yang menunjukkan sikap protagonis-kompromistis, bahkan terpaku dan terjerembab dalam metodologi sekuler sains modern, seperti, Muhammad Hisyam Haykal, Thaha Husain, Ali Abdul Raziq.7
Kondisi demikian semakin mempertajam kesenjangan antara ilmu dan agama serta memperkuat dikotomi keilmuan (pemisahan keilmuan agama dan umum; klasik dan modern; ukhrawi dan duniawi) yang pada gilirannya merambat pada dualisme pendidikan. Di satu pihak, ada pendidikan yang hanya memperdalam ilmu pengetahuan modern yang jauh dari nilai-nilai Islam; di pihak lain, terdapat pendidikan yang hanya mendalami ilmu agama yang terpisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan modern. Kategori pertama hanya memproduk para saintis sekuler, sedangkan yang kedua hanya memproduk para agamawan yang berwawasan ekslusif dan memisahkan bahkan membuang jauh ilmu pengetahuan modern dari paradigma pemahaman dan pemaknaan agamanya. Mengomentari hal tersebut, Ahmad Watik Pratiknya menyatakan bahwa munculnya kecenderungan dikotomi sesungguhnya berangkat dari kegagalan manusia (Muslim) untuk memahami hubungan antara ilmu dan agama secara proporsional.8
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di satu sisi telah mengantarkan manusia pada tingkat kesejahteraan material, namun di sisi lain, paradigma ilmu pengetahuan dan teknologi modern dengan berbagai pendekatannya telah menyeret manusia pada kegersangan dan kebutuhan dimensi spiritual dan moral.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat akhir- akhir ini dapat dikatakan telah terjadi teknologisasi kehidupan dan penghidupan. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan sendiri dan makin terpisah jauh meninggalkan agama dan etika. Spektakulerisasi perkembangan ilmu pengetahuan telah menjadi bagian yang substantif dalam kehidupan manusia masa kini, dan telah menyentuh semua sendi kehidupan masyarakat yang secara ekstentif pada gilirannya merombak tatanan budaya manusia dengan intensif. Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak selamanya memberi kebahagiaan bagi manusia, seperti; peledakan bom atom merupakan contoh penemuan tenaga nuklir yang disalahgunakan sehingga menimbulkan keresahan.
Demikian pula halnya dalam bidang genetika; mulai mengembangkan teknologi bayi tabung dan cloning, dimana manusia dijadikan sebagai obyek penelitian. Fenomena ini mengindikasi adanya pemisahan tajam antara kehidupan dunia dan akhirat; yang berawal dari sistem pendidikan yang tidak terintegralisasi, melainkan bersifat dikotomis parsial. Di satu sisi, ada sistem pendidikan tradisional khusus mempelajari ilmu keislaman secara sempit, hanya dari sisi hukum dan ibadah saja. Di sisi lain, adanya sistem pendidikan yang lebih menekankan pada ilmu-ilmu sekuler yang diadopsi secara mentah begitu saja dari Barat.9 Kedua sistem tersebut menimbulkan dualisme personalitas dalam tubuh Islam yang saling bertentangan. Untuk menghadapi hal ini, diperlukan adopsi disiplin-disiplin ilmu modern yang sekuler kepada wawasan Islami, dan diintegrasikan kembali pendidikan Islam yang telah bercorak dikotomis, yang menumbuhkan pribadi yang pecah di antara generasi muslim serta meletakkan ilmu pengetahuan ke dalam hukum Islam. Menurut Haidar Bagir, Dikotomi dalam pendidikan Islam terjadi karena pengingkaran terhadap validitas dan status ilmiah yang satu atas yang lain. Pihak agamis beranggapan bahwa ilmu umum itu adalah bid‘ah atau haram dipelajari karena berasal dari orang kafir, sedangkan pendukung ilmu umum berpendapat ilmu agama sebagai pseudo ilmiah, atau kata lain sebagai mitologi yang tidak akan mencapai tingkat ilmiah. Ini menyebabkan jarak antara ilmu agama dengan ilmu umum kian jauh.10
Problematika ini dapat terselesaikan dengan cara mengintegralkan akal dan wahyu menjadi satu kesatuan fungsional dalam proses pendidikan Islam.11 Oleh karena itu integrasi antara keduanya merupakan solusi guna menjawab kemelut fenomena dikhotomi pendidikan Islam saat ini. Dengan kata lain integrasi ilmu merupakan solusi terbaik untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam agar senantiasa dapat dikembangkan menembus waktu dan ruang tanpa adanya jerat dan aral yang menghadang langkah-langkah kemajuan manusia dalam mengaktualisasikan diri sebagai abdun sekaligus khalifatullah fll‘-Ardh.12
Akar Sejarah Dikotomi Pendidikan Islam
Secara leksikal dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, dikotomi mempunyai pengertian sebagai pembagian atas dua kelompok yang salin bertentangan.13 Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry mengartikan dikotomi sebagai pembagian dalam dua bagian yang saling bertentangan.14 Sedangkan Mujammil Qomar mengartikan dikotomik sebagai pembagian atas dua konsep yang saling bertentangan.15 Menurut John M. Echols dikotomi adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian.16 Sedangkan Menurut al Faruqi, dikotomi adalah dualisme religius dan kultural.17
Berdasarkan sejumlah definisi dikotomi di atas, dapat disimpulkan bahwa dikotomi merupakan dualisme sistem pendidikan antara pendidikan agama dan pendidikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu pengetahuan. Dualisme ini, bukan hanya terletak pada dataran pemilahan tetapi memasuki ranah pemisahan. Konteknya dengan pendidikan Islam Sistem pendidikan yang dikotomi akan menyebabkan pecahnya peradaban Islam dan akan menafikan peradaban Islam yang kaffah (menyeluruh).18 Kendatipun fenomena dikotomi menjadi problem kontemporer, namun keberadaannya tentu tidak lepas dari proses historisitas yang panjang sehingga berdampak fenomenal saat ini.
Tradisi dikotomik ilmu dalam Islam tidak bisa dipungkiri, tetapi perlu diakui validasi dan status ilmiah masing-masing kelompok keilmuan seperti yang terjadi di masa nabi Muhammad dan generasi sesudahnya. Secara klasifikasi, memang mereka membedakan keduanya, akan tetapi secara prinsip mereka memposisikan dalam status dan kedudukan yang sama, sehingga keduanya mendapat porsi yang sama untuk dieksplorasi. Prinsip integrasi dalam diskursus ilmu masa nabi Muhammad merupakan khazanah prinsip ilmu yang seharusnya dianut bahwa ada interaksi simbois-mutualisme antara kedua ranah ilmu tersebut.
Artinya, antara satu dengan lainnya bukan merupakan antithesis terhadap yang lainnya, namun beriringan menjadi dwi tunggal yang saling memberikan kontribusi. Pandangan dan sikap keilmuan di zaman nabi Muhammad Saw. yang memposisikan ilmu secara paralel tersebut menyebabkan eksplorasi tehadapa ilmu selain ilmu agama sudah mulai dilakaukan meskipun dalam kadar yang sangat sederhana. Bahkan nabi Muhammad Saw. tidak pernah mengajarkan kepada pengikutnya yang beriman dan bertaqwa untuk menjauhi dunia yang merupakan media dalam menggapai kesempurnaan hidup. Nilai-nilai ini tampak pada waktu Ilslam lahir pada pertengahan pertama abad ke-7 M., bangsa Arab dikelilingi oleh bangsa-bangsa yang memiliki kebudayaan tinggi dan megah, seperti Persia, romawi, Yunani dan India.
Bahkan Arab zaman Jahiliyah, sudah ada semacam ilmu yang kemudian sedikit banyak mempengaruhi terhadap perkembangan ilmu agama Islam, terutama ilmus sastara19dan bahasa Arab.20 Maka sebagai masyrakat yang baru lahir, Islam tidak serta merta menjauhi peradaban di luar dirinya yang notabene non Islam. dengan ada kebudayaan dan peradaban tinggi tersebut, maka umat Islam mempelajari kebudayaan bangsa-bangsa lain yang lebih maju. Usaha ini tidak pernah ada counter dalam literatur doktrin Islam, bahkan usaha konstruktif ini telah dilakukan umat Islam di zaman klasik, khususnya sampai masa dinasti bani Umayyah dan mencapai puncak kejayaannya pada masa dinasti Abbasyiah.21
Pasca nabi Muhammad, ummat Islam semakin berkembang pesat, berawal dari peluasan-peluasan wilayah, hingga perkembangan ilmu pengetahuan. Sejak zaman khalifah empat, yakni Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, budaya keilmuan umat Islam sudah cukup baik berkembang, meskipun masih cukup terbatas karena kosentrasi pemerintahan Islam dikala itu lebih tertuju pada ekspansi wilayah dan misi da‘wah Islamiyah.22 Yang menarik adalah mayoritas ahli sejarah berpendapat tentang pendirian maktab/kuttab. Dan kuttab merupakan lembaga pendidikan dasar Islam yang terlama. Lembaga pendidikan Islam ini didirikan oleh orang Arab pada masa khalifah Abu Bakar dan khalifar Umar bin al-Khattab, yaitu sesuadah mereka mempunyai hubungan dengan bangsa-bangsa yang telah maju.23
Sedangkan era perkembangan ilmu pengetahuan teknologi pada umat Islam, meskipun peletakan dasarnya sudah dimulai di zaman dinasti Umayyah, Philip K. Hitti menyatakan bahwa Dinasti umayyah sebagai masa inkubasi atau masa tunas bagi perkembangan intlektual Islam.24 akan tetapi sangat maju dan berkembang pesat di zaman dinasti Abbasyiah. Pada masa dinasti Umayyah juga sudah ada seorang Masrjawaih ahli fisika beragama Yahudi yang telah menterjemahkan buku-buku kedokteran. Juga disiplin ilmu astrologi dan kimia sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.25
Tradisi intlektualitas ini kemudian berlanjut pada dinasti Abbasyiah yang memutuskan perhatiannya pada perkembangan peradaban umat Islam, sehingga masa dinasti ini disebut sebagai masa pembentukan dan pengembangan peradaban Islam.26 salah stu contoh adalah Khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M.) yang merupakan salah satu dari khalifah dinasti Abbasiah, dikenal sebagai khalifah yang mencintai seni dan ilmu. Harun al-Rasyid banyak meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan kalangan ilmuwan dan mempunyai paresiasi yang tinggi terghadap seni. Harun al Rasyid juga mengembangakan satu akademi Gundishapur yang didirikan oleh Anushievan pada tahun 555 M. pada masa pemerintahannya lembaga tersebut dijadikan sebagai pusat pengembangan dan penerjemahan bidang ilmu kedokteran, obat dan falsafah. Dengan bergairahnya atmosfir ilmu pegetahuan di zaman Umayyah dan Abbasyiah praktis menjadikan umat Islam menjadikan umat Islam menjadi umat dan bangsa yang lebih maju, bahkan sangat maju dibandingkan negara-negara lainnya di belahan dunia saat itu.
Bangsa Barat atau bangsa Eropa sering disebut dengan the dark age, belum dijumpai daerah-daerah yang menjadi pusat pencerahan kecuali daerah-daerah tertentu saja, itu pun yang ditempati oleh para pendeta yang memahami bahasa Yunani dan bahasa Latin. Semntara ummat Islam sedang mencapai puncak kejayaan dan hampir semua disiplin ilmu pengetahuan sudah dikembangkan. Mulai dari ilmu eksak seperti matematika, fisika, kimia, astronomi, optic, teknik, hingga ilmu-ilmu non-eksak seperti politik, ekonomi, sosial, seni dan budaya. Lebih dari sepuluh abad (dari abad ke-6 M. hingga ke 16 M.) ummat Islam menguasai kemajuan ilmu pengetahuan teknologi dan menjadi penghulu (pioneer) bagi dunia saat itu.
Dengan masuknya Islam keSpanyol, merubah tatanan baru dan pencerahan terhadap bangsa Eropa dengan sebuah peradaban baru yakni peradaban Islam yang dibawa oleh bangsa Arab dan masuk melalui Spanyol. Karenanya, sulit dipungkiri kemajuan Eropa tidak bisa dilepaskan dari pemerintah Islam di Spanyol. Dan berawal dari penaklukan ileh umat islam itu pula bangsa Eropa mulai menapak peradaban maju. Dan kebudayaan Islam dan Arab sangat mempengaruhi peradaban Eropa pada waktu itu apalagi bangsa Erpa pada ketika itu masuk dalam era kegelapan. Pengaruh ilmu pengetahuan dan peradaban Islam di Eropa berlangsung abad-12 M. ini menimbulkan gerakan kebangkitan kembali (renaissance) pusaka Yunani di Eropa abad ke-14 M. berkembangnya pemikiran Yunani di eropa ini melalui terjemahan terjemahan Arab yang dipelajari dan diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Latin. Walaupun akhirnya Islam terusir dari negeri Spanyol dengan cara yang sangat kejam, tetapi Islam telah membidani gerakan kebangkitan di Eropa, gerakan kebangkitan kembali kebudayaan Yunani kelasik pada abad ke-14 M. yang bermula di Italia, gerakan reformasi pada abad ke-16 M. rasionalisme pada abad ke-17 M. dan pencerahan(aufkalarung) pada abad ke-18 M.27 Akan tetapi, ternyata panggung sejarah peradaban Islam menampilkan situasi sebaliknya, kondisi ummat Islam mengalami keterpurukan dalam kejumudan dalam ilmu pengetahuan. Seakan-akan umat Islam tidak permah menjadi umat yang memiliki peradaban tinggi seantero dunia.
Penyebab kemunduran umat Islam selain karena, pertama, perang salib yang berlangsung beberapa glombang atau periode dan menelan banyak korban. Kedua, serangan tentara Mongol kewilayah kekuasaan Islam. sebagimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M.) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu membawa semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada diwilayah kekuasaan Islam. Namun diantara komunis-komunis Kristen Timu, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentatra Salib itu. Yang paling krusial adalah adanya paradigm dikotomis yang berlebihan terhadap ilmu pengetahuan, yakni secara sadar atau tidak, umat Islam memperlakukan secara diskriminatif terhadap ilmu-ilmu umum yang dipandang sebelah mata. Dalam perspektif fakta sejarah, prose pengembangan budaya dan ilmu pengetahuan dalam Islam, terjadi akulturasi nilai antara disiplin khazanah keilmuan Islam. paemikiran ilmu filsafat diadopsi untuk menjadi dasar pola fikir dalam ilmu kalam yang sebenarnya dua disiplin ilmu yang berbeda, maka terkesan adanya infiltrasi teori-teori yang fregmentatif-komfrontatif dengan doktrin Islam. lingkaran realitas dasar doktrin Islam yang terkontaminasi menyebabkan pertentangan yang hebat antara ilmuwan Islam yang cendrung pada filsafat dan tokoh Islam yang berpegang teguh pada nilai-nilai Islam murni, tanpa memandang bahwa doktrin Islam yang diwahyukan Allah kepada nabi Muhammad pada hakikatnya merupakan suatu doktrin yang sarat dengan nilai-nilai, baik nilai absolut-universal maupun nilai-nilai yang bersifat relatif. Hal tersebut misalnya dapat ditangkap dari beberapa informasi wahyu dan sunnah rasul seperti sabda nabi: sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Aklak mulia yang dimaksud adalah meliputi akhlak mulia kepada Allah atau dimensi ubudiyah dan akhlak mulia kepada sesama manusia (mu‘amalah) dan makhluk Tuhan yang lainnya. Melihat fakta tersebut tokoh-tokoh agama Islam mengeluarkan fatwa-fatwa yang membabi buta hingga mengharamkan filsafat, dan mengkafirkan orang yang mempelajarinya dan mengajarkannya. Salah satunya adalah al-Ghazali dengan buku Tahafut al-Falasifah yang banyak mengecam filsafat. Di tangannya, dunia Islam dipenuhi dengan sisi mistis (tasawuf).28
Dalam hal ini, bagi Sayeed Hoseen Nasr, serangan al-Ghazali terhadap filsafat dianggap telah melumpuhkan filsafat rasionalistik dan menghabisi karier filsafat sebagai disiplin yang berbeda dari gnosi dan teologi di seluruh wilayah Arab pada dunia Islam.29 walaupun sikap al-Ghazali tersebut akhirnya mendapatkan tanggapan dan serangan frontal dengan evaluasi kritis-akademis dari Ibn Rusyd dalam Thafut al-Tahfut (Rancun dalam Kerancuan). Bahkan kalau dikaji secara nakal, al-Ghazali merupakan orang yang paling bertanggungjawab terhadap ambruknya kecermelangan peradaban Islam, sehingga wajar jika orientaslis Philip K. Hitti mencapnya sebagai orang anti intlektual.30
Namun disatu sisi, ketika ada peninjauan kembali secara kritis-realistis setelah meninggalnya al-Ghazali, dunia intlektualisme Islam masih mampu melahirkan banyak imuwan, seperti Ibn rusyd (w. 1198) yang dianggap sebagai Aristotelian sejati dan Ibn Khaldun (w. 1406) yang dianggap sebagai bapak sosiologi modern bukan saja bagi umat Islam, tapi juga bagi dunia internasional. Perlu juga dicatat, bahwa al-Ghazali lebih menjadi milik umat Islam secara keseluruhan dari pada hanya sebatas kalangan sufi, bahkan ia lebih dikenal dalam ranah ke-Islaman populer dari pada dalam dunia sufi itu sendiri, meskipun karya-karya sufistiknya jauh lebih dominan dibanding karya-karya filosofis ataupun fiqihnya. Munurut Azyu Mardi Azra, al-Ghazali adalah seorang manusia dengan pengetahuan yang amat luar biasa, yang menyerap keseluruhan kebudayaan keilmuan pada zamannya. Ia terlibat dalam pengembangan ilmu teologi, filsafat, astronomi, politik, ekonomi, sejarah, hukum, sastra, music, etika, sufisme, kimia, ilmu kedokteran, dan biologi.31
Lebih dari itu, Hamid Dabasy dalam pengantar terjemahan buku berjudul, Neraca Kebenaran karya al-Ghazali, menilai al-Ghazali sebagai manusia pertama yang menguasi dan melampaui seluruh diskursus dominan yang otoritatif di zamannya; dari teologi sampai yurisprudensi, filsafat, mistisme, bahkan sampai teori politik. Al Ghazali menguasai hal terbaik dalam jagad intleltual Islam. Teks-teks akhir al-Ghazali dihasilkan setelah melakukan perjalanan menuju ranah kesadaran diri yang sempurna diantaranya; al-Munqidh min al-dhalal, Ihya‘ Ulum al-Din, atau Kimiyya al-Sa‘adah, yang kesemua itu telah membuat jarak tersendiri dengan diskursus-diskursus dominan yang terjadi di zamannya. Namun meski demikian, karya-karya tersebut tetap saja merupakan sebuah pencapaian atau sesuatu yang melampaui teks umum dalam teologi, filsafat dan mistisme. Tidak berlebihan untuk menyatakan bahwa ia adalah sebuah fenomena dengan kekhasan atas dirinya sendiri selama kekuasaan Turki Saljuk di dunia Islam saat ini.32 Pengaruh al-Gazali dalam Islam tidak dapat dibantah lagi dan begitu meluasnya hingga dewas ini. Pada bidang yang tidak diketahui orang, yakni pad bidang biologi dan kedokteran, al-Ghazali pun tak kurang menacapkan pengaruhnya, sehingga mempunyai saham besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan modern.33
Sedemikian hebatnya al-Ghazali dalam penguasaan ilmu memunculkan sesuatu pertanyaan besar, apakah masih belum cukup ubtuk memberikan pengakuan bahwa ia benar-benar mempunyai pengaruh signifikan bagi kemajuan peradaban dan perkembangan dunia intlektual umat Islam, bahkan non-Muslim?. Al-Ghzali telah berjasa dalam menyelamatkan ajaran Islam dari unsur-unsur non-Islam, terutama menyelamatkan ajaran tasawuf yang telah dipraktekkan sejak masa shabat dan tabi‘in dari pengaruh ajaran filsafat neo-Platonisme, filsafat Persia dan filsafat India yang melahirkan corak tasawuf falsafi yang bertentangan denganajaran tasawuf yang berkembang pada dua masa tersebut.34
Akan tetapi pada konteks yang lain, salah satu contoh yang memperlihatkan sisi kontroversial dalam sejarah pemikiran Islam adalam munculnya penolakan tegas al-Ghazali terhadap logika keniscayaan hukum kausalitas. Pada pasal ke 17 dalam Tahafut al Falasifah, al-Ghazali sangat menolak konsepsi kemestian kausalitas yang diyakini Ibn Sina (980-1037 M.) dan para filosof muslim aliran pripaterik (masysya‘iyah)35Al-Gozali dengan kritiknya terhadap filosof Muslim tersebut memvonis mereka telah kafir.36
Terlepas dari kebesaran al-Ghazali dan kritiknya tersebut, pasca al-Ghazali realitas ilmu menunjukkan semakin dikotomi, bahkan gap dualisme ilmu antara ilmu agama dan ilmu umum terbuka sangat lebar. Tragisnya lagi adalah kondisi parailmuwan atau filosof yang banyak dikucilkan, bahkan sebagaian dari mereka yang kemudian ditangkap, dipenjara dan disisksa, serta buku-bunya dibakar, seperti yang dialami oleh al-Rukn dan Ibn Rusyd. Dengan demikian, maka sejak itu berkembanglah paham anti ilmu pengetahuan (ilmu non agama) di kalangan umat Islam hingga berabad-abad lamanya.37
Adapun dari segi politik pemerintahan, proses sikap dikotomis terhadap ilmu yang berlebihan dipicu oleh sebuah peristiwa besar di zaman pemerintahan khalifah al-Ma’mun (786-833 M.) di zaman dinasti Abbasiyah. Di masa Islam dalam kejayaannya yaitu masa itu pemerintahan banya didominasi oleh kaum yang berfaham Mu‘tazilah yaitu golongan yang membawa persoalan teologi secara mendalam dan berdifat filosofis. Mereka lebih bnayak memggunakan akal, sehingga sering dijuluki kaum rasionalis Islam‖ paham yang digawangi oleh Washil Ibn Atha‘. Ia menerapkan mazhab Mu‘tazilah sebagai mazhab resmi Negara pada tahun 827 M.38
Akibat dari penerapan mazhab Mu‘tazilah sebagai mazhab resmi dari pemerintahan al-Ma‘mun, al-Mu‘tashim (833-842 M.) dan pemerintahan al-Wasiq (842-847 M.) orang-orang yang akan menduduki posisi penting pemerintahan, yang mempunyai imbas penyiksaan terhadap ulama‘-ulama‘ Islam yang tidak sejalan denga akidah pemerintah yang berpemahaman Mu‘tazilah. Implikasinya sebagian kelompok yang tidak sepaham melakukan perlawanan sebagai bentuk ketidak setujuan pada Madzhab Mu‘tazilah. Konsekuensinya setelah pemerintahan al-Wasiq, maka al-Mutawakkil (847-861 M.) kemudian membatalkan mazhab Mu‘tazilah dan mendukung mazhab Ahlussunnah Wal Jama‘ah sebagai mazhab Negara. Lebih dar itu akademi-akademi yang mengajarkan ilmu-ilmu filososfis dan ilmu-ilmu rasional ditutup. Bahkan banyak tokoh-tokoh Mu‘tazilah yang diusir dari Bagdad.39
Sejak saat itu, perkembangan dan eksplorasi keilmuan di bidang filososfis dan rasional relatif terhenti atau stagnan. Membatasi diri dengan keilmuan filososfis dan rasional yang justru sebagai dasar perkembangan ilmu pengetahuan teknologi pondasi peradaban umat Islam. Dan yang terjadi adalah taqlid terhadap pemikiran ulama‘ dengan menutup pintu ijtihad. Kemerdekaan berfikir umat Islam pun terpenjara karena asobiyah (fanatic) terhdap taqlid ulama yang dikuti dan tak bisa dirubah.
Di sisi lain, jika ditelusuri dari data sejarah, sebenarnya dikotomi terhadap ilmu tidak hanya terjadi di kalangan umat Islam saja, tetapi juga sudah terjadi sebelumnya, khususnya di kalangan umat Kristen di masa kegelapan Eropa (the dark age). Pada masa itu Eropa berada dalam kekuasaan otoriter greja, terutama setelah raja Roma Constantantine memeluk agama Kristen. Agama Kristen resmi menjadi agama Negara dan agama yang berkuasa, sehingga lama-kelamaan kekuasaan Paus dan pemuka agama Kristen menjadi sedemikian besarnya, sehingga para raja di Barat wajib tubduk kepada mereka. Dana pada abad pertengahan ini manusia merasa kurang dihargai, sedangkan kebenaran diukur dari Greja (Kristen), bukan ukuran yang dibuat oleh manusia. Pada stadium ini kemudian Paus dan pemuka-pemuka agama Kristen kala itu menetapkan beberapa teori ilmu pengetahuan dan mensucikannya menjadi teori atau bahkan postulat yang kebenarannya tidak terbantahkan‖. Sehingga siapa saja yang menentangnya diadili dan akan mendapatkan punishment dengan ganjaran dibakar hidup-hidup yaitu 300.000 pernah diadili dan 32.000 orang yang pernah dibakar. Diantara merek terdapat ahli ilmu pengetahuan yang terekenal, yaitu Giordano Bruno dan Galileo Galeli. Giordano Bruno dianggap menentang greja karena mengatakan bahwa alam ini banyak jumlahnya. Sedangkan Galileo Galeli mengatakan bahwa bumu berputar di sekitar matahari (heliocentris).40
Kedua temuan ilmiah tersebut mendapat sambutan konfrontatif dar greja yang mengindikasikan otoritas pengaruhnya takut terganggu oleh fakta olmiah tersebut. Melihat masa yang merugikan ini, napas humanism, individulisme, yang merupakan ciri utama dari renaissance lepas dar agama (tidak mau diatur oleh agama), begitu juga empirisme, dan rasionalisme. Dengan landasan yang demikian, maka perkembangan ilmu pengetahuan yang rasional makin pesat dan Greja makin ditinggalkan. Inilah yang kemudian para ahli ilmu pengetahuan melakukan pemberontakan terhadap para pemuka agama. Akhirnya mereka membenci segala yang berhubungan dengan pemuka agama tersebut.
Mula-mula mereka hanya memusuhi agama Kristen, tetapi kemuadian berkembang menjadi memusuhi semua agama. Mak muncul embrio skuler di Barat yang tampak sangat jelas kelak pada zaman modern. Rupanya setiap pemikiran mempunyai kecendrungan menghasilkan yang positif menurut ukuran positivistic-materialistik. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa secara konseptual komperatif antara perjalanan alur historis dikotomik antara Islam dan Barat, bahwa dunia Islam paradigm dikotomis terhadap ilmu justru terjadi dan dilakukan oleh para pemuka agama (‗ulama‘) itu sendiri, bukan dilakukan oleh ahli ilmu pengetahuan. Sedangkan Barat memunculkan dikotomi ilmu dilakukan oleh Greja dengan tangan tangan Paus yang mengkerangkeng pemikiran paran ilmuwan dalam menghasilakn ilmu pengetahuan dan teknologi. Konteksnya dengan Indonesia, sejarah munculnya dikotomi pendidikan berawal sejak datangnya Belanda menjajah belahan bumi Nusantara ini. Pendidikan kolonial yang dikelola oleh pemerintah Belanda untuk anak-anak bumiputra ataupun diserahkan kepada misi dan zending Kristen dengan bantuan financial dari pemerintah Belanda. Pendidikan yang demikian pada awal abad ke- 20 telah menyebar di beberapa kota, baik tingkat pendidikan dasar sampai ketingkat atas yang terdiri dari lembaga pendidikan guru dan sekolah kejuruan. Oleh karenanya, pada masa ini terbentuk dua model pendidikan, yaitu: Pendidikan Islam tradisional dan pendidikan kolonial.
Kedua jenis pendidikan ini dibedakan, baik dari segi tujuan maupun kurikulumnya. Dimana pendidikan kolonial melarang memasukkan pelajaran agama dalam sekolah-sekolah kolonial yang sekuler dan bertujuan menyebarkan budaya Barat. Hal ini merupakan bentuk dari Politik Etis yang disebut Politik Asosiasi Belanda bagi pribumi, di samping dididik mereka juga ditargetkan untuk berbudaya Barat sebagai upaya balas keuntungan material yang mereka peroleh dengan menjajah Indonesia. Pada hakikatnya hal tersebut merupakan usaha westernisasi yang menarik penduduk kepada golongan pemuja Barat dan menyudutkan Islam karena lebih diperkenalkan dengan ilmu dan kebudayaan sekuler tanpa mengimbanginya dengan pendidikan agama.41
Pada akhirnya pendidikan di Indonesia saat itu, terpecah menjadi dua: pendidikan sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, yang tak mengenal ajaran- ajaran yang berhubungan dengan agama; dan pendidikan di pesantren yang hanya mengajar ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama saja. Setelah kemerdekaan, dualisme yang diwariskan pemerintah kolonial Belanda tetap mengakar dalam dunia pendidikan di Indonesia. Hal ini sebagaimana dikemukakan Al-Faruqi bahwa, pandangan masyarakat tentang Islam telah dibutakan oleh pandangan yang dibawa para penjajah. Pandangan ini terus berkembang sampai kepada beberapa generasi walaupun penjajah telah pergi, bahkan lebih berbahaya. Keadaan ini berpengaruh pada seluruh aspek hidup masyarakat, manusia, dan alam nyata. Selanjutnya Al- Faruqi menyatakan bahwa faktor utama penyebaran pandangan asing ini adalah menduanya sistem pendidikan. Pertama, sistem pendidikan umum, dan kedua sistem pendidikan Islam. Dualismenya sistem pendidikan ini melambangkan kejatuhan umat Islam.42
Dampak Dikhotomi Pendidikan Islam
Menurut al-Faruqi, setidaknya terdapat dua penyebab utama terjadinya dikotomi pendidikan dalam dunia Islam, yaitu:
- Imperialisme dan Kolonialisme Barat atas Dunia Islam
Sebagai akibat dari kerusakan mengerikan yang ditimbulkan orang-orang non-Muslim kepada umat di abad ke 6 dan 7 H atau sekitar abad ke 12 dan 13 M., yakni serbuan tentara Tartar dari Timur dan pasukan Salib dari Barat, para pemimpin Muslim kehilangan akal dan tidak mempunyai keyakinan kepada diri sendiri. Mereka berfikir bahwa dunia mereka mengalami bencana, mereka mengambil sikap yang sangat konservatif dan berusaha untuk menjaga identitas dan milik mereka yang paling berharga (Islam) dengan melarang segala bentuk inovasi dan mengemukakan ketaatan fanatik secara harfiah kepada syari‘ah. Saat itu mereka meninggalkan sumber utama kreativitas, yakni ijtihad. Mereka mencanangkan penutupan pintu ijtihad. Mereka memperlakukan syari‘ah sebagai hasil karya yang sempurna dari para leluhur. Mereka menyatakan bahwa setiap penyimpangan dari syari‘ah adalah inovasi, dan setiap inovasi tidak disukai dan terkutuk. Sebagaimana yang dijelaskan di sekolah-sekolah, syari‘ah harus menjadi beku dan karenanya menjaga keselamatan Islam. Kebangkitan Islam, terlebih kemenangan dan ekspansi kaum Muslimin ke Rusia, Balkan, Eropa Tengah, dan Barat Daya di sekitar abad ke-8 dan ke-12 tidak dapat meniadakan tindakan-tindakan konservatif tersebut.43
Pada zaman modern, Barat membebaskan daerah-daerah yang ditaklukkan Ottoman di Eropa. Barat menduduki, menjajah, dan memecah belah dunia Islam, kecuali Turki karena di sini kekuatan Barat berhasil diusir. Sementara Yaman dan Arab Tengah dan Barat tidak menarik untuk dijadikan daerah jajahan. Kekuatan Barat mengeksploitir kelemahan kaum Muslimin sebesar mungkin, dan merekalah yang menyebabkan malaise yang dialami dunia Islam. Sebagai respon terhadap kekalahan, tragedi, dan krisis yang ditimbulkan Barat di dunia Islam dalam dua abad terakhir ini, para pemimpin Muslim di Turki, Mesir, dan India mencoba melakukan westernisasi terhadap umat dengan harapan membuatnya dapat bertahan secara politik, ekonomi, dan militer.44 Penjajahan Barat atas dunia Muslim menyebabkan umat Islam tidak berdaya. Dalam kondisi seperti itu, tidak mudah bagi umat Islam untuk menolak upaya-upaya yang dilakukan Barat terutama injeksi budaya dan peradaban modern Barat. Tak pelak, ilmu-ilmu Barat sering menggantikan posisi ilmu-ilmu agama dalam kurikulum sekolah Islam. Sementara upaya untuk mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum (Barat) tidak begitu dilakukan waktu itu, yang terjadi justru pemisahan secara dikotomis antara ilmu agama dan ilmu umum sekuler.45
- Pemisahan antara Pemikiran dan Aksi di Kalangan Umat Islam
Di awal sejarah Islam, pemimpin adalah pemikir dan pemikir adalah pemimpin. Wawasan Islam pada waktu itu dominan, dan hasrat untuk mewujudkan wawasan Islam di dalam sejarah menentukan semua tingkah laku. Itulah keasyikan dari seluruh masyarakat Islam. Setiap Muslim yang sadar berusaha menyelidiki realitas tentang materi-materi dan kesempatan-kesempatan untuk kemudian dibentuk kembali ke dalam pola-pola Islam. Pada waktu yang bersamaan, seorang faqih (ahli fiqih) adalah imam, mujtahid, qari, muhaddits, guru, mutakallimun, pemimpin politik, jenderal, petani atau pengusaha, dan kaum profesional. Jika ada yang merasa lemah, maka orang- orang di sekelilingnya dengan senang hati akan membantunya dalam mengatasi kekurangan itu. Semua orang memberikan semuanya demi cita-cita Islam.46
Di kemudian hari, kesatupaduan antara pemikiran dan aksi ini pecah. Saat keduanya terpisah, masing-masing kondisinya memburuk. Para pemimpin politik dan pemilik kebijakan mengalami krisis tanpa memperoleh manfaat pemikiran, tanpa berkonsultasi kepada para cerdik-pandai, dan tidak memperoleh kearifan mereka. Akibatnya adalah kemandegan (stagnasi) yang membuat warga cerdik merasa asing dan semakin terisolasinya para pemimpin. Untuk mempertahankan posisi mereka, para pemimpin politik melakukan kesalahan yang semakin banyak dan besar. Di pihak lain, para pemikir menjadi asing dan semakin jauh dari keterlibatan aktif di dalam urusan umat, mengambil hal ideal sebagai balasan mereka dalam mengutuk otoritas politik.47 Di saat itulah stagnasi pemikiran di kalangan umat Islam tampak nyata, karena tidak padunya berbagai pemikiran dan aksi di dalamnya. Stagnasi pemikiran di dunia Islam itu terjadi -juga- karena umat Islam terlena dalam kelesuan politik dan budaya.48
Mereka cenderung kembali melihat ke belakang pada masa kejayaan Islam masa silam. Para sarjana Barat seolah mengatakan bahwa rasa bangga atas keunggulan budaya masa lampau telah membuat para sarjana Muslim kurang menanggapi tantangan yang dilemparkan oleh para sarjana Barat. Padahal bila tantangan itu ditanggapi secara positif dan arif, dunia Muslim akan dapat mengasimilasikan ilmu pengetahuan baru dan bisa memberinya arah. Al Faruqi mengungkapkan bahwa pendikotomian merupakan simbol jatuhnya umat Islam, karena sesungguhnya setiap aspek harus dapat mengungkapkan relevansi Islam dalam ketiga sumbu tauhid. Pertama, kesatuan pengetahuan; kedua, kesatuan hidup; dan ketiga, kesatuan sejarah. Dikotomi keilmuan sebagai penyebab kemunduran berkepanjangan umat Islam sudah berlangsung sejak abad ke-16 hingga abad ke-17 yang dikenal sebagai abad stagnasi pemikiran Islam. Dikotomi ini pada kelanjutannya berdampak negatif terhadap kemajuan Islam.49
Sementara Ikhrom mengemukakan bahwa setidaknya terdapat empat masalah akibat dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama, sebagai berikut:
Sementara Ikhrom mengemukakan bahwa setidaknya terdapat empat masalah dampak dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama, sebagai berikut:
- Munculnya ambivalensi50 dalam sistem pendidikan Islam
- Munculnya kesenjangan antara sistem pendidikan Islam dan ajaran Islam. Sistem pendidikan yang ambivalen mencerminkan pandangan dikotomis yang memisahkan ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum.
- Terjadinya disintegrasi sistem pendidikan Islam, dimana masing masing sistem (modern/umum) Barat dan agama (Islam) tetap bersikukuh mempertahankan kediriannya atau egoisme.
- Munculnya inferioritas pengelola lembaga pendidikan Islam. Hal ini disebabkan karena pendidikan Barat kurang menghargai nilai nilai kultur dan moral.
Selanjutnya, International Institut of Islamic Thought Herndon Virginia menyatakan bahwa, dikhotomi merupakan salah satu krisis utama umat yang berdampak pada beberapa ruang lingkup kehidupan umat, meliputi: konteks politik, konteks ekonomi, dan konteks kebudayaan dan agama.51
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan, sebagai berikut. Sebenarnya Islam tidak mengenal dikotomi (pemeisahan) esensial antara ―ilmu agama‖ dan ―ilmu umum‖. Berbagai disiplin ilmu dan perspektif intlektual yang dikembangkan dalam Islam memang mengandung hirarki tertentu, tapi hirarki itu pada akhirnya bermuara pada pengetahuan tentang ―hakikat Yang Maha Tunggal‖ yang merupakan substansi dari segenap ilmu. Inilah yang menjadi alasan kenapa para pemikir dan ilmuwan Muslim berusaha mengintegrasikan ilmu-ilmu yang dikembangakan peradaban-peradaban non-Muslim ke dalam hirarki ilmu pengetahuan menurut Islam. Dengan demikian, pendidikan Islam tidak mengenal adanya stadium dikotomi dalam pengertian berlebihan, akan tetapi hanya membedakan jenis-jenis atasu klasifikasi sesui dengan bidang (obyek, fungsi, dan cara memperolehnya), hirarki (urutan prasyarat) dan manfaat saja.
Dikotomi dalam pendidikan Islam merupakan dualisme sistem pendidikan antara pendidikan agama Islam dan pendidikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu pengetahuan. Dualisme ini, bukan hanya terletak pada dataran pemilahan tetapi memasuki ranah pemisahan. Sistem pendidikan yang dikotomik pada pendidikan Islam akan menyebabkan pecahnya peradaban Islam dan akan menafikan peradaban Islam yang kaffah (menyeluruh).
- Syamsul Ma‘arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hlm. 18 ↩︎
- Mereka adalah para Imam Mazhab yang masih eksis sampai sekarang ajarannya, berikut biorafi singkat Imam Hanafi Nama Lengkap: Nu’man ibn Tsabit bin Zuthi at Taimi Panggilan: Abu Hanifah Gelar: Imamul A’dzam (pemimpin yang agung) Tempat dan waktu kelahiran: Kuffah (Iraq), 80 H (ada yang menyebut 61 H dan 70 H) Tempat dan tahun wafat : Baghdad (Iraq), 150 Hijriyah Istri: Anak: Hammad Karya terkenal: Kitab Fiqh Al-Akbar Guru terkenal: Imam Atta’ bin Abi Rabbah, Nafi’, Hammad bin Abi Sulaiman, Sya’bi. Murid terkenal: Abu Yusuf, Muhammad-al-Hasan,asy-Syaibaniy.
Imam Malik Nama lengkap: Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Asbahi Panggilan: Abu Abdillah Gelar: Imam Darul Hijrah Tempat dan waktu kelahiran: Madinah, 93 Hijriyah Tempat dan tahun wafat: Madinah, 179 Hijriyah Istri : (Ada tiga) Anak: Muhmamad, Hammad, Yahya, Fatimah Karya terkenal: Kitab Al-Muwattha’ Guru terkenal: Imam Nafi’, az-Zuhri, Rabi’ah ar- Ra’yi Murid terkenal: Imam Syafi’i, Yahya bin Yahya al-Laitsi, Abdurrahman ibn Qashim.
Imam Syafi’I Nama Lengkap: Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i Panggilan: As-Syafi’I Gelar: Nashirussunnah (sang pembela sunnah) Tempat dan tahun kelahiran: Gaza Palestina, 150 H Tempat dan tahun wafat: Mesir, 204 H Istri: Hamidah, Dananir, Ummu Fatimah/Zaenab Anak: Abu Utsman, Hasan, Fatimah dan Zaenab Karya terkenal: Ar-Risalah, Al-Umm Guru terkenal: Imam Malik Murid terkenal : Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Muzani, Rabi’ bin Sulaiman, Al-Buwaithi.
Nama: Ahmad bin Muhammad bin Hambal Asy-Syaibani Panggilan: Abu Abdillah Gelar: Imam Ahlussunnah wal Jama’ah Tempat dan waktu kelahiran: Baghdad, 164 H Tempat dan tahun wafat: Baghdad, 241 H Istri: Aisyah binti Fadhl, Raihanah, Husinah Anak: Abdullah, Shalih, Zainab, Hasan, Husain, Muhammad, Said. Karya terkenal: Musnad Ahmad, az-Zuhud Guru terkenal: Imam Syafi’i, Abu Yusuf, Abdurrazaq Murid terkenal: Abdullah bin Ahmad, Ibrahim bin Ishaq, Harb bin Ismail al-Kirmani. ↩︎ - Dikotomi ilmu sebagai pemisahan diantara dua disiplin ilmu, hal ini pada akhirnya melahirkan dualisme pendidikan yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Pandangan dikotomis yang memisahkan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum ini bertentangan dengan konsep ajaran Islam yang bersifat integralistik. Konsep Islam memandang ilmu pengetahuan secara utuh dan universal, tidak ada istilah dikotomi atau pemisahan. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah dikotomi ini adalah pengintegrasian antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum yang dikenal dengan Islamisasi sains. Implikasi Islamisasi Sains dalam pendidikan dapat dilihat dari 3 aspek meliputi; aspek kelembagaan, aspek kurikulum serta aspek pendidik. Islamisasi sains merupakan suatu upaya untuk menanamkan nilai-nilai Islam kedalam berbagai bidang kehidupan, khususnya ilmu pengetahuan, keselarasan antara Islam dan sains dan sejauh mana sains bermanfaat bagi umat Islam. Perkembangan ilmu harus membawa rahmat bagi alam semesta, tidak cukup hanya melalui islamisasi sains tetapi juga dengan spiritualisasi human being, tujuannya adalah agar teciptanya out put pendidikan yang memiliki integritas, yaitu orang yang memiliki pandangan hidup yang integrated antara Tuhan, manusia dan alam, antara ilmu pengetahuan dan teknologi yang mana integrasi tersebut akan saling memperkokoh keimanan dan ketakwaan, atau antara iman, ilmu dan amal. ↩︎
- Muhammad Qutb. Qabasat min al-Rasul. Makkah: Dar al-Syarqi. 1982, hlm. 42-43. ↩︎
- Harun Nasution. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1975, hlm. 13. ↩︎
- Isma‗il Raji al-Faruqi, Science and Traditional Values in Islamic Society, dalam Zygon; Journal of Religion and Science, Vol. 2 Nomor 3, 1967, hlm. 23 ↩︎
- Osman Bakar. Tauhid dan Sains. Terj. Yuliani Liputo. Bandung: Pustaka Hidayah. 1991, hlm. 220. ↩︎
- Ahmad Watik Pratiknya. Identifikasi Masalah Pendidikan Agama Islam di Indonesia‖; dalam Muslih (Ed.). Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1991, hlm. 104 ↩︎
- Isma‗il Raji al-Faruqi. Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Terj. A. Mahyudin. Bandung: Pustaka. 1984. hlm. 12 ↩︎
- Haidar Bagir, Integrasi Ilmu, 2005, hlm. 20 ↩︎
- Syamsul Ma‘arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, Op.Cit,, 33 ↩︎
- Manusia adalah khalifah Allah di muka bumi Dalam Al-Qur’an, kata khalīfah memiliki makna ‘pengganti’, ‘pemimpin’, ‘penguasa’, atau ‘pengelola alam semesta’
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ ٣٠
Artinya: (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah13) di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS.Al-Baqarah:30 ) ↩︎ - Tim Penyusun Kamus Pusat bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 264 ↩︎
- Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barrym Kamus Ilmiah populer, (Surabaya: Arkola, 1994),hlm.110 ↩︎
- Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode rasional Hingga Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 74 ↩︎
- John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Utama, 1992, hlm. 180 ↩︎
- Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge : General Principles and Workplan Hemdon : HIT, 1982, hlm. 37 ↩︎
- Inilah konsep Islam yang kaffah sesuai firman Allah SWT
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ ٢٠٨
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam (kedamaian) secara menyeluruh dan janganlah ikuti langkah-langkah setan! Sesungguhnya ia musuh yang nyata bagimu.(Q.S. Al-Baqarah:208)
Dan juga ada qoul yang berbunyi
ﻣَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻓَﻌَﻠَﻴْﻪِ ﺑِﺎﻟْﻌِﻠْﻢِ، ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺍﻷَﺧِﺮَﺓَ ﻓَﻌَﻠَﻴْﻪِ ﺑِﺎﻟْﻌِﻠْﻢِ، ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَﻫُﻤَﺎ ﻓَﻌَﻠَﻴْﻪِ ﺑِﺎﻟْﻌِﻠْﻢِ
Artinya: Barangsiapa yang menginginkan dunia maka hendaklah berilmu. Barangsiapa yang menginginkan akhirat, maka hendaklah dengan ilmu. Barangsiapa yang menginginkan keduanya, maka hendaklah dengan ilmu.” ↩︎ - Karya sastra pada periode jahiliyah menggambarkan keadaan hidup masyarakat di kala itu, di mana mereka sangat fanatik dengan kabilah atau suku mereka, sehingga syair-syair yang muncul tidak jauh dari pembanggaan terhadap kabilah masing-masing. Demikian juga khutbah yang kebanyakan berfungsi sebagai pembangkit semangat berperang membela kabilahnya, namun demikian karya-karya sastra pada periode jahiliyah juga tidak luput dari nilai nilai positif yang dipertahankan oleh Islam seperti hikmah dan semangat juang. Hampir seluruh syair-syair dan khutbah pada masa jahiliyah diriwayatkan dari mulut ke mulut kecuali yang termasuk ke dalam Al-Mu’allaqat, hal ini disebabkan masyarakat jahiliyah sangat tidak terbiasa dengan budaya tulis menulis, umumnya syair-syair jahiliyah dimulai dengan mengenang puing puing masa lalu yang telah hancur. Berbicara tentang hewan-hewan yang mereka miliki dan menggambarkan keadaan alam tempat mereka tinggal. Beberapa kosa kata yang terdapat dalam karya sastra jahiliyah sulit dipahami karena sudah jarang dipakai dalam bahasa arab saat ini. Lihat Qomi akit Jauhari perkembangan sastara arab. hlm, 26 ↩︎
- Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam mulia, 2002), hlm. 89 ↩︎
- Kekhalifahan Abbasiyah (Arab: الخلافة العباسية, al-khilāfah al-‘abbāsīyyah) atau Bani Abbasiyah (Arab: العباسيون, al-‘abbāsīyyūn) adalah kekhalifahan ketiga Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak) dan kemudian berpindah ke Kairo sejak tahun 1261. Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dunia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan menundukkan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah merujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul-Muththalib (566–652), oleh karena itu mereka juga termasuk ke dalam Bani Hasyim. Berkuasa mulai tahun 750 dan memindahkan ibu kota dari Damaskus ke Baghdad. Berkembang selama tiga abad, tetapi pelan-pelan meredup setelah naiknya bangsa Turki yang sebelumnya merupakan bahagian dari tentara kekhalifahan yang mereka bentuk, dan dikenal dengan nama Mamluk. Selama 150 tahun mengambil kekuasaan memintas Iran, kekhalifahan dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-dinasti setempat, yang sering disebut amir atau sultan. Menyerahkan Andalusia kepada keturunan Bani Umayyah yang melarikan diri, Maghreb dan Ifriqiya kepada Aghlabiyyah dan Fatimiyah. Kejatuhan totalnya pada tahun 1258 disebabkan serangan bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan yang menghancurkan Baghdad dan tak menyisakan sedikitpun dari pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan Baghdad. Kekhalifahan Bani Abbasiyah berlanjut di Kairo mulai tahun 1261 dibawah naungan Kesultanan Mamluk Mesir. Kekhalifahan di Kairo ini berakhir ketika Mesir di taklukan Kesultanan Utsmaniyah tahun 1517 dan gelar khalifah di klaim oleh dinasti Utsmaniyah Turki ↩︎
- Ibn Taymiyah, Minhaj As-Sunnah, Jilid 2, (Riyadl: Maktabat al-Riyadl Al-Hadissah, t.t.), 187-188 ↩︎
- Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Peterj.: Ibrahim husen, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hlm. 30 ↩︎
- Philip K. Hitti, History of the Arab, (London: Macmillan Press Ltd., 1974), hlm. 240 ↩︎
- Ibid., hlm, 25 ↩︎
- Harun Nasution, Islam ditintau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), hlm, 70 ↩︎
- S.I Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern, (Jakarta: P3M, 1996), hlm. 77 ↩︎
- Azyumardi Azra, Historiografi Islam kontemporer: Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 383 ↩︎
- Sayyed Hossien Nasr, Islamic Life and Thought, (Albany: SUNNY Press, 1981), hlm. 72 ↩︎
- Philip K. Hitti, historis Of the… Op. Cit., hlm 432 ↩︎
- Azyumardi Azra, Historiografi Islam kontemporer: Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 384 ↩︎
- Al-Ghazali, Neraca Kebenaran, Peterj: Kamran As‘ad, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), hlm. 12 ↩︎
- Azyumardi Azra, Historiografi Islam kontemporer: Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 385 ↩︎
- M. Fahmi Muqoddas, Kata Pengantar Penerjemah, dalam al-Ghazali, Tahafut al Falasifah, Penterj: M. Fahmi Muqoddas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm 9 ↩︎
- Mulyadhi Kartanegara, Argumen-Argumen adanya Tuhan, dalam jurnal pemikiran Islam Paramadina, vol. I. no 2. 199, hlm. 102 ↩︎
- Al-Gahazali, Al-Munqidz min al-Dhalal, (Kairo: Mathba‘ah al-Alamiyah, 1303), hlm. 12-13 ↩︎
- Syahminan Zaini, Integrasi ilmu dan Aplikasinya Menurut al-Qur‘an, (Jakarta: Kalam Mulia, 1989), hlm. 9 ↩︎
- Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran… Loc. Cit., 61 ↩︎
- Ibid. hlm. 62 ↩︎
- Syahminan Zaini, Integrasi Ilmu dan… Op.Cit., hlm. 7 ↩︎
- Alwi Shihab, Membendung Arus, Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung: Mizan, 1998. hlm. 144 ↩︎
- Ismail Al-Faruqi, Kata Pengantar, dalam buku Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Terj. Mustafa Kasim, Jakarta: Dewan Bahasa & Pustaka Malaysia dan Penerbit Lontar, 2000. hlm. vii – ix ↩︎
- Ismail Al-Faruqi. Islamisasi Ilmu …, hlm. 40-41. ↩︎
- Ismail Al-Faruqi. Islamisasi Ilmu …, hlm. 40-41 ↩︎
- M. Shofan. Pendidikan Berparadigma Profetik. Yogyakarta: Ircisod-UMG Press. 2004, hlm. 10-12. 157 Ismail Al ↩︎
- Ismail Al-Faruqi. Islamisasi Ilmu …, hlm. 48-49. ↩︎
- Ismail Al-Faruqi. Islamisasi Ilmu …, hlm. 50-51. ↩︎
- Shofan. Pendidikan Berparadigma…., hlm. 10-12 ↩︎
- Abuddin Nata, dkk. Integrasi Ilmu … , hlm. 151 -152 ↩︎
- Perasaan tidak sadar yang saling bertentangan terhadap situasi yang sama atau terhadap seseorang pada waktu yang sama (KBBI) ↩︎
- Lihat lebih lanjut gambaran detail dari dampak dikhotomi bagi 3 aspek tersebut, dalam Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Terj. Mustafa Kasim, Jakarta: Dewan Bahasa & Pustaka Malaysia dan Penerbit Lontar, 2000. hlm. 2 – 6 ↩︎
Daftar Pustaka
- Rifa‘i dan Sholihin Abdulghoni. 1995. Al-Qur‘an dan Terjemahnya, Semarang: Wicaksana.
- Abdurrahman. 1969. Aisyah, Maqal fiaf-Insan, Dirasah Qur‘aniyyah. Mesir: Dar al-Ma‘arif.
- Abdullah et.al. (eds), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
- Abdullah, M. Amin, (1999), Visi Keindonesiaan Pembaharuan Pemikiran Islam Hermeneutik, Epistema, No. 02
- Abdullah, Abdurrahman Shalih, Educational Thory: A Qur`anic Outlock, terj. Mutammam, Bandung: Diponegoro, 1991.
- Abdullah, Abd. Rahman, Aktualisasi Konsep Dasar Pendidikan Islam. Cet. I; Yogyakarta: UII Press, 2002.
- Abuddin Nata, dkk. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
- Abu Sulayman, Abdul Hamid (2003) Islamization, Science, and Technology in The Crisis of the Muslim Mind. New Delhi: The Association of Muslim Scientists and Engineers.
- Acikgenc, Alparslan. (2003). Holisitic Approach to Scientific Traditions, Islam & Science: Journal of Islamic Perspective on Science, Volume 1, Juni 2003, Number 1.
- Ahmad, Akbar S. (1992), Citra Muslim Tinjauan Sejarah dan Sosiologi. Jakarta: Erlangga. cet. 1.
- Ahmad Watik Pratiknya. “Identifikasi Masalah Pendidikan Agama Islam di Indonesia dalam Muslih (Ed.). Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1991.
- Al-Nahlawi, Abd. Al-Rahman, Usul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah wa Asalibuha, terj. Henry Nur Ali, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam. Cet. I; Bandung: Diponegoro, 1989.
- Nasr, Seyyed Hossein. 1997. Islam dan Peradaban Modern, (terj.)Anas Mahyuddin Bandung: Mizan.
Seyyed Hossein (1970) Science and Civilization in Islam. New York: New American Library. - Nasution, S. (1996) Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif, Cetakan Kedua. Bandung: Tarsito.
- Nasution, Harun. 1987. MuhammadA bduh dan Teologi Rasional Mu‘tazilah. Jakarta: UI-Press. (1992), Ensiklopedi Islam Indonesia. Vol. I. Jakarta: Jambatan.
- Nata, Abuddin, dkk. (2005), Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
- Nawawi, Hadari. 1993. Pendidikan daIam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas. Osman Bakar. Tauhid dan Sains. Terj. Yuliani Liputo. Bandung: Pustaka Hidayah. 1991.
- Partanto, Pius A dan M. Dahlan Al Barry. (1994), Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola.
- Ramayulis dan Syamsul Nizar. (2005), Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan di Indonesia. Ciputat: Quantum Teaching.
- Sani, Abdul. (1998), Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
- Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2011.
- Shihab, M. Quraish Wawasan Al-Qur`an; Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2007.
- Soleh, A. Khudori. Pokok Pikiran tentang Paradigma Integrasi Ilmu dan Agama‖ dalam M. Lutfi Musthofa dan Helmi Syaifuddin (eds.), Intelektualisme Islam Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama. Malang: Lembaga Kajian al-Qur‘an dan Sains UIN Malang, 2006.
- Syafei, Rachmat. Integrasi Ilmu Agama dalam Sistem Kurikulum UIN dalam Nanat Fatah Natsir (ed.), Pandangan Keilmuan UIN Wahyu Memandu Ilmu. Bandung: Gunung Jati Press, 2008.
- Taufik, Akhmad, dkk.(2005), Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam. Ed. 1. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
- Wan Daud, Wan Ramli bin dan Shaharir bin Mohamad Zain (1999) Pemelayuan, Pemalaysiaan dan Pengislaman Ilmu Sains dan Teknologi dalam Konteks Dasar Sains Negara, Jurnal Kesturi, No. 1. 1999.
- Wan Daud, Wan Mohd Nor. (2003), Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas. Bandung: Mizan.
- Basyit, A. (2019). Dikotomi dan Dualisme Pendidikan di Indonesia. Jurnal Tahdzibi:ManajemenPendidikanIslam,4(1),15–27.
- Wahyuni, F. (2018). Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Upaya Mengurai Dikotomi Ilmu Pengetahuan dalam Islam ). Qalamuna, 10, 1–12.
Artikel Ini ditulis oleh: Rahmad Fauzi Lubis, M.Pd.I. (Da’i dan Dosen IAI Diniyyah Pekanbaru)